BAB II
LANDASAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
A. Landasan Yuridis
Penyusunan naskah akademik tentang penataan ulang kurikulum pendidikan di Indonesia berlandaskan pada:
1.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencara Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang menyatakan bahwa: pembangunan manusia sebagai insan menekankan pada manusia yang berharkat, bermartabat, bermoral dan memiliki jati diri serta karakter tangguh baik dalam sikap mental, daya pikir maupun daya ciptanya.
2.
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang menyatakan prioritas 2 sektor pendidikan yang meliputi unsur metodologi dan kurikulum. Dikemukakan bahwa:
a. Penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test), namun pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti, kecintaan terhadap budaya-bahasa Indonesia melalui penyesuaian sistem Ujian Akhir Nasional pada 2011 dan penyempurnaan kurikulum sekolah dasar dan menengah sebelum tahun 2011 yang diterapkan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% pada 2014;
b. Penataan ulang kurikulum sekolah yang dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong penciptaan hasil didik yang mampu menjawab kebutuhan SDM untuk mendukung pertumbuhan nasional dan daerah dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan (diantaranya dengan mengembangkan model link and match);
3.
Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 6 Tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif, dengan sasaran: Insan Kreatif dengan pola pikir dan moodset kreatif; arahnya pada peningkatan SDM kreatif yang berkualitas secara berkesinambungan dan tersebar merata di wilayah Indonesia, dan strateginya dengan melakukan kajian dan revisi kurikulum pendidikan dan pelatihan agar lebih berorientasi pada pembentukan kreativitas dan kewirausahaan pada anak didik sedini mungkin.
4.
Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional. Diantaranya menyatakan bahwa penyempumaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
B. Landasan Teoretik
1. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang studi yang bersifatmultifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan atau lebih dikenal dengan bidang kajian yang mutidimensional sebqagai integrasi dari disiplin ilmu politik, hukum, pendidikan, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya yang dapat mendukung pembentukan warga negara yang baik. Namun secara filsafat keilmuan ia memiliki ontology pokok ilmu politik khususnya konsep “political democracy” untuk aspek“duties and rights of citizen”(Chreshore:1886). Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa Latin “civicus” yang artinya warga negara pada jaman Yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”, yang selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn). Secara epistemologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima tradisi “social studies”yakni “citizenship transmission” (Barr, Barrt, dan Shermis:1978).Dikemukakan pula oleh Winataputra (2001) bahwa saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “body of knowledge”yang dikenal dan memiliki paradigma sistemik yang didalamnyaterdapat tiga domain “citizenship education” yakni: domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural”.
Ketiga domain itu satu sama lain memiliki saling keterkaitan struktural dan fungsional yang diikat oleh konsepsi “civic virtue and culture” yang mencakup “civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic commitment, dan civic competence” ( CCE:1998). Oleh karena itu, ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas social-kultural PKn saat ini benar-benar bersifat multifaset/ multidimensional. Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi.
Kemana arah pengembangan PKn di Indonesia? Hal itu tergantung dari aspek ontology mana kita berangkat, dengan metode kerjaepistemology mana pengetahuan itu dibangun, dan untuk arah tujuan aksiologis mana kegiatan itu akan membawa implikasi. Bagi negara kita, Indonesia, arah pengembangan PKn tidak boleh keluar dari landasan ideologis Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu bentuk dari domain kurikuler PKn. Sesuai dengan namanya, PKn merupakan mata pelajaran dalam Kurikulum SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK. Sebagai mata kuliah dalam program pendidikan tenaga kependidikan, PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan dan sebagai “subject-specific pedagogy” atau pembelajaran materi subjek untuk guru PKn. Sebagai mata pelajaran di tingkat satuan pendidikan, PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan kewarganegaraan untuk warga negara muda usia. Secara ontologis, mata pelajaran ini berangkat dari nilai-nilai Pancasila dan konsepsi kewarganegaraan. Secara epistemologis, mata pelajaran ini merupakan program pengembangan individu, dan secara aksiologis mata pelajaran ini bertujuan untuk pendewasaan peserta didik sebagai anggota masyarakat, warga negara, dan komponen bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, karakteristik kurikulum PKn yang perlu dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hendaknya diarahkan dengan tujuan untuk mencapai target hingga terjadinya artikulasi proses “belajar tentang, melalui proses, dan untuk menumbuhkan demokrasi konstitusional Indonesia sesuai dengan UUD 1945”, yang secara konseptual diadaptasi dari konsep“learning about, through, and for democracy” (CIVITAS: 1996, 2001; Kerr:1996; Winataputra, 2001). Oleh karena itu, secara umum pembelajaran PKn di Sekolah Dasar, misalnya, adalah pengembangan kualitas warga negara secara utuh, dalam aspek-aspek:
kemelek-wacanaan kewarganegaraan (civic literacy), yakni pemahaman peserta didik sebagai warga negara tentang hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia serta menyesuaikan perilakunya dengan pemahaman dan kesadaran itu;
komunikasi sosial kultural kewarganegaraan (civic engagement),yakni kemauan dan kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk melibatkan diri dalam komunikasi sosial-kultural sesuai dengan hak dan kewajibannya.
pemecahan masalah kewarganegaraan (civic skill and participation), yakni kemauan, kemampuan, dan keterampilan peserta didik sebagai warga negara dalam mengambil prakarsa dan/atau turut serta dalam pemecahan masalah sosial-kultur kewarganegaraan di lingkungannya.
penalaran kewarganegaraan (civic knowledge), yakni kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk berpikir secara kritis dan bertanggungjawab tentang ide, instrumentasi, dan praksis demokrasi konstitusional Indonesia.
partisipasi kewarganegaraan secara bertanggung jawab ( civic participation and civic responsibility), yakni kesadaran dan kesiapan peserta didik sebagai warga negara untuk berpartisipasi aktif dan penuh tanggung jawab dalam berkehidupan demokrasi konstitusional. (Dokumen SKGK, Depdiknas, 2004)
PKn untuk persekolahan sangat erat kaitannya dengan dua disiplin ilmu yang erat dengan kenegaraan, yakni Ilmu Politik dan Hukum yang terintegrasi dengan humaniora dan dimensi keilmuan lainnya yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, PKn di tingkat persekolahan bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik (to be smart dan good citizen). Warga negara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan adalah warga Negara yang cerdas dan baik, yakni warga negara yang bercirikan tumbuh-kembangnya kepekaan, ketanggapan, kritisasi, dan kreativitas sosial dalam konteks kehidupan bermasyarakat secara tertib, damai, dan kreatif. Para peserta didik dikondisikan untuk selalu bersikap kritis dan berperilaku kreatif sebagai anggota keluarga, warga sekolah, anggota masyarakat, warga negara, dan ummat manusia di lingkungannya yang cerdas dan baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil berbuat(learning by doing), belajar memecahkan masalah sosial (social problem solving learning), belajar melalui perlibatan sosial (socio-participatory learning), dan belajar melalui interaksi sosial-kultural sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat.
Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di Indonesia seperti yang berkembang di negara lain memiliki multidimensional, artinya bahwa program PKn bukan hanya untuk satu tujuan. Winataputra (2001) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi PKn, yakni: (1) PKn sebagai program kurikuler; (2) PKn sebagai program akademik; dan (3) PKn sebagai program sosial kultural. Dalam pelaksanaan program, tiga dimensi ini dapat saja terjadi secara simultan atau secara bersamaan (overlaping), khususnya dalam mencapai tujuan umum, yakni membentuk warga negara yang cerdas dan baik.Khusus untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan PKn dapat dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian Penjelasan Pasal 37 ayat (1) bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.”
Domain PKn sebagai program kurikuler merupakan program PKn yang dirancang dan dibelajarkan kepada peserta didik pada jenjang satuan pendidikan tertentu. Melalui domain ini, proses penilaian dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap program pembelajaran dan program pembangunan karakter. Namun diakui oleh para pakar bahwa pencapaian program PKn dalam domain kurikuler belumlah optimal karena masih adanya kelemahan dalam dimensi kurikuler, seperti masalah landasan, pengorganisasian kurikulum, buku pelajaran, metodologi, dan kompetensi guru.
Domain PKn sebagai program akademik merupakan program kajian ilmiah yang dilakukan oleh komunitas akademik PKn menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah konseptual dan operasional guna menghasilkan generalisasi dan teori untuk membangun batang tubuh keilmuan PKn. Kajian ini lebih memperjelas bahwa PKn bukan semata-mata sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah melainkan pendidikan disiplin ilmu yang memiliki tugas komprehensif dalam arti bahwa semua community of scholars mengemban amanat (missions) bukan hanya di bidang telaah instrumental, praksis-operasional dan aplikatif melainkan dalam bidang kajian teoritis-konseptual yang terkait dengan pengembangan struktur ilmu pengetahuan dan body of knowledge.
Domain PKn sebagai program sosial kultural pada hakikatnya tidak banyak perbedaan dengan program kurikuler dilihat dari aspek tujuan, pengorganisasian kurikulum dan materi pembelajaran.Perbedaan terutama pada aspek sasaran, kondisi, dan karakteristikpeserta didik. Program PKn ini dikembangkan dalam konteks kehidupan masyarakat dengan sasaran semua anggota masyarakat.Tujuannya lebih pada upaya pembinaan warga masyarakat agar menjadi warga negara yang baik dalam UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pada bagian Pembukaan alinea keempat memberikan dasar pemikiran tentang tujuan negara. Salah satu tujuan negara tersebut dapat dikemukakan dari pernyataan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Apabila dikaji, maka tiga kata ini mengandung makna yang cukup dalam. Mencerdaskan kehidupan bangsa mengandung pesan pentingnya pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Dalam kehidupan berkewarganegaraan, pernyataan ini memberikan pesan kepada para penyelenggara negara dan segenap rakyat agar memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku secara cerdas baik dalam proses pemecahan masalah maupun dalam pengambilan keputusan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan.
UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas sebagai landasan operasional penuh dengan pesan yang terkait dengan pendidikan kewarganegaraan. Pada Pasal 3 ayat (2) tentang fungsi dan tujuan negara dikemukakan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selanjutnya, pada Pasal 37 ayat (1) dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: “... b. pendidikan kewarganegaraan; ...” dan pada ayat (2) dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: “... b. pendidikan kewarganegaraan; ...”. Sedangkan pada bagian penjelasan Pasal 37 dikemukakan bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.”
Adanya ketentuan tentang pendidikan kewarganegaraan dalam UU Sisdiknas sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menunjukkan bahwa mata pelajaran ini menempati kedudukan yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional di negara ini. Adapun arah pengembangannya hendaknya difokuskan pada pembentukan peserta didik agar menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Arah pengembangan pendidikan nasional pada era reformasi mengacu pada UU Sisdiknas yang dioperasionalkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Sejalan dengan kebijakan otonomi pendidikan, maka pengembangan kurikulum sekolah tidak lagi dibebankan kepada pemerintah pusat sebagaimana terdahulu melainkan diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan. Pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional hanya menyediakan standar nasional yakni berupa standar isi dan standar kompetensi lulusan sementara pelaksanaan pengembangan kurikulum dilaksnakan oleh setiap satuan pendidikan sesuai dengan jenjang dan jenisnya. Sebagai landasan kurikulernya,pendidikan kewarganegaraan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu pada Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006 masing-masing tentang SI dan SKL.
Berlakunya ketentuan tentang otonomi pendidikan membawa implikasi bagi setiap satuan pendidikan termasuk implikasi dalam pengembangan kurikulum.Bahwa mereka memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pengembangan kurikulum bahkan dalam pengelolaan bidang lainnya, namun di pihak lain mereka pun dituntut agar selalu meningkatkan kualitas satuan pendidikan yang sesuai dengan standar nasional terkait.
2. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai kemasan kurikuler: mata pelajaran atau mata kuliah
Dalam kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962, Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tahun 1994, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan tahun 1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Di negara lain kemasan kurikuler serupa itu dikenal sebagai civic education dalam konteks wacana pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis menurut konstitusi negaranya masing-masing. Sebagaimana berkembang di berbagai belahan dunia, tercatat adanya berbagainomenklatuur untuk itu, yakni: “Citizenship education” (UK), termasuk di dalamnya “civic education” (USA) atau disebut jugapendidikan kewarganegaraan (Indonesia), atau “ta’limatul muwwatanah/at tarbiyatul al watoniyah (Timur Tengah) atau“educacion civicas” (Mexico), atau “Sachunterricht” (Jerman) atau“civics” (Australia) atau “social studies” (New Zealand) atau “Life Orientation (Afrika Selatan) atau “People and society” (Hungary), atau “Civics and moral education” (Singapore) (Kerr: 1999; Winataputra:2001). Semua itu merupakan wahana pendidikan karakter ( character education) yang bersifat multidimensional(Cogan and Derricott: 1998) yang dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.
Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yakni pada pasal 37 menggariskan program kurikuler pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dikenal dua muatan wajib yakni pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah dua muatan wajib ini dirumuskan menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), sedang di Perguruan Tinggi dirumuskan menjadi dua mata kuliah, yakni Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan. Pada tahun 1985 mata kuliah Pendidikan Kewiraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.
Sesungguhnya, bila kita kembali pada konsepsi bahwa setiap negara memerlukan wahana edukatif untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya dan menjamin kelanggengan kehidupan negaranya, maka dualisme persepsi antara Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan tidak perlu terjadi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya untuk Indonesia, pendidikan kewarganegaraan itu adalah pendidikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah, komitmen utuh telah dicapai sesuai dengan legal framework yang ada, bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran wajib pada semua satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Aspek-aspek yang menjadi lingkup mata pelajaran ini, mencakup persatuan dan kesatuan bangsa, norma hukum dan peraturan, hak azasi manusia, kebutuhan warga negara, konstitusi negara, kekuasaaan dan politik, Pancasila, dan globalisasi. Walaupun dalam enumerasinya Pancasila ditempatkan sejajar dengan aspek lain, namun dalam pengorganisasian isi dan pengalaman belajar hendaknya ditempatkan sebagai core atau concerto dalamorkestrasi kesemua aspek untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan Pancasila secara generik. Dengan demikian untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat dikembangkanpendidikan kewarganegaraan yang koheren dengan pendidikan nilai-nilai Pancasila.
Untuk pendidikan tinggi sebaiknya bagaimana? Peserta didik di perguruan tinggi adalah pemuda dan orang dewasa yang mulai matang, bukan anak usia sekolah yang secara psikologis masih dalam proses perkembangan menuju kematangan. Secara multidimensional Pancasila dapat kita bagi dalam tiga tataran, yakni (a) Pancasila pada tataran filosofik-ideologik, (b) Pancasila pada tataran instrumental-sociokultural, dan (c) Pancasila pada tataran psikososial-individual dan kolektif. Pada tataran filosofik-ideologik Pancasila perlu dilihat sebagai integrated knowledge system yang memiliki dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang seyogyanya dikaji secara akademik/ilmiyah. Dalam konteks iniPancasila harus dilihat sebagai ideologi terbuka untuk pengembangan secara keilmuan. Pada tataran instrumental-sociokultural Pancasila merupakan sistem nilai yang menjadiingredient dan spirit/ethos dari keseluruhan sistem konstitusi dan kehidupan berkonstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks ini Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai dan moral yang melandasi kelembagaan, norma, dan mekanisme kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai parameter untuk menakar nilai substatif dari keseluruhan instrumentasi kehidupan kebernegaraan Indonesia, yang seyogyanya dikaji secara normatif-inferensial. Pada tataran psikososial-individual dan kolektif, Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai moral yang seyogyanya diwujudkan dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial-kultural individu dalam keseharian kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai sumber rujukan prilaku yang perlu diinternalisasi oleh individu dalam perannya sebagai anggota masyarakat, komponen bangsa, dan warga negara Indonesia.
3. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Proses Pendidikan: Praksis Pembelajaran
Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkanperubahan prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan kewarganegaaan adalah belajar atau learning. Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 butir 20 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada. Oleh karena itu proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai proses interaksisosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran.
Dalam kontes itu, maka pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian generik, harus diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian Kewarganegaraan. Karena itu konsep kajian kewarganegaraan menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient pembangunan watak dan peradaban Indonesia yang bermartabat. Dalam konteks itu maka satuan pendidikan seyogyanya dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan mencerdaskan.
4. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Upaya Sistemik Membangun Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan: Proses nation’s character building
Pengalaman sejarah serta budaya kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi suatu negara. Salah satu unsur dari budaya kewarganegaraan adalah“civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan yang terpancar dari nilai-nilai Pancasila mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau“civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani-Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraanyang ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukanadanya dan berperannya pendidikan pancasila yang menghasilkan demokrasi konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan-Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya budaya Pacasila yang menjadi inti dari masyarakat madani-pancasila yang demokratis. Inilah tantangan konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk membangun demokrasi konstitusional di Indonesia.
Masyarakat madani-Pancasila atau “civic community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila. Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik. Dari situ dapat ditangkap tantangan bagi pendidikan demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas kehidupan ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Secara teoritik, konsep civic culture atau budaya Pancasila terkait erat pada perkembangan democratic civil society atau masyarakat madani-Pancasila yang mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi, dalam pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi terikat oleh atribut-atribut khusus dalam konteks etnis, agama, atau kelas dalam masyarakat. Masyarakat sivil yang demokratis tidak mungkin berkembang tanpa perangkat budaya yang diperlukan untuk melahirkan warganya. Karena itu pula negara harus mempunyai komitmen untuk memperlakukan semua wara negara sebagai individu dan memperlakukan semua individu secara sama. Secara spesifik civic culture merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan …a set of ideas that can be embodied effectively in cultural representations for the purpose of shaping civic identities- atau seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warganegara.
Dalam Lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 secara normatif dikemukakan bahwa ”Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.” Sedangkan tujuannya, digariskan dengan dengan tegas, “adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan duniasecara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.”
Sementara itu ditetapkan pula bahwa ”Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.”
PKn merupakan mata pelajaran dengan visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional. Ia merupakan pendidikan nilai demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial, dan masalah pendidikan politik. Namun yang paling menonjol adalah sebagai pendidikan nilai dan pendidikan moral. Oleh karena itu secara singkat PKn dinilai sebagai mata pelajaran yang mengusung misi pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara lain sebagai berikut.
1. Materi PPKn adalah konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 45beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.
2. Sasaran belajar akhir PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam perilaku nyata kehidupan sehari-hari.
3. Proses pembelajarannya menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat kognitif) tetapidihayati (bersifat ojektif) dan dilaksanakan (bersifat perilaku).
Sebagai pengayaan teoritik, pendidikan nilai dan moral sebagaimana dicakup dalam PKn tersebut, dalam pandangan Lickona (1992) disebut "educating for character" atau "pendidikan watak". Lickona mengartikan watak atau karakter sesuai dengan pandangan filosof Michael Novak (Lickona 1992 : 50-51), yakniCompatible mix of all those virtues identified by religions traditions, literary stories, the sages, and persons of common sense down through history. Artinya suatu perpaduan yang harmonis dari berbagai kebajikan yang tertuang dalam keagamaan, sastra, pandangan kaum cerdik-pandai dan manusia pada umumnya sepanjang zaman. Oleh karena itu Lichona (1992, 51) memandang karakter atau watak itu memiliki tiga unsur yang saling berkaitan yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior atau konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku moral. Bila buah pemikiran Lickona (1992) tersebut kita kaitkan dengan karakteristik PKn SD, nampaknya kita dapat menggunakan model Lickona itu sebagai kerangka pikir dalam melihat sasaran belajar dan isi PKn. Setiap nilai Pancasila yang telah dirumuskan sebagai butir materi PKn pada dasarnya harus memiliki aspek konsep moral, sikap moral,dan perilaku moral.
Contohnya, untuk menanamkan nilai kejujuran dalam pembelajaran PKn harus menyentuh ketiga aspek seperti berikut:
Konsep Moral
1. Kesadaran perlunya kejujuran
2. Pemahaman tentang kejujuran
3. Manfaat kejujuran di masa depan
4. Alasan perlunya kejujuran
5. Bagaimana cara menerapkan kejujuran
6. Penilaian diri sendiri mengenai kejujuran
Sikap Moral
1. Kata hati kita tentang kejujuran
2. Rasa percaya diri kita untuk senantiasa berlaku jujur pada orang lain
3. Empati kita terhadap orang yang jujur
4. Cinta kita terhadap kejujuran
5. Pengendalian diri kita untuk selalu berlaku jujur
6. Rasa hormat kita kepada orang lain yang berlaku jujur
Perilaku Moral
1. Kemampuan bersikap dan berlaku jujur
2. Kemauan untuk senantiasa berusaha jujur
3. Kebiasaan untuk selalu bersikap dan berbuat jujur
Dari pembahasan kita mengenai PKn sebagai pendidikan nilai dan moral dikaitkan dengan konsep pendidikan watak kiranya kita dapat mencatat hal-hal sebagai berikut:
1. PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau karakter peserta didik sesuai dengan dan merujuk kepada nilai-nilai dan moral Pancasila.
2. Nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 dapat dikembangkan dalam diri peserta didik melalui pengembangan konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral setiap rumusan butir nilai yang telah dipilih sebagai materi PPKn.
Oleh karena itu bagi pendidikan di Indonesia PKn merupakan program pembelajaran nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 yang bermuara pada terbentuknya watak Pancasila dan UUD 45 dalam diri perserta didik. Watak ini pembentukannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi keterpaduan konsep moral, sikap moral dan perilaku moral Pancasila dan UUD 45. Dengan demikian pula kita dapat menegaskan kembali bahwa PKn merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang mencerminkan konsep, strategi, dan nuansa confluent education. Pendidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
C. Landasan Empirik
Secara empiris, pembelajaran PKn saat ini, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan/proses, maupun penilaian belum sesuai dengan dengan yang diharapkan. Masih banyak kelemahan yang terjadi khususnya pada tahap proses pembelajaran sehingga tidak sedikit peserta didik tidak semangat belajar, merasa bosan, tidak senang, tidak menantang, bahkan tidak mau belajar PKn. Akibatnya, pembelajaran PKn saat ini dipandang belum secara efektif membangun peserta didik menjadi warga negara yang cerdas dan baik, yakni warga Negara yang memiliki akhlak mulia dan berkarakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Berbagai peristiwa yang melibatkan hampir semua lapisan masyarakat, seperti perilaku korupsi, tawuran, penyalahgunaan narkoba, pornografi, tidak mau antri, main hakim sendiri, tidak peduli kepada orang lain, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak disiplin dalam beraktivitas, perkelahian antarkelompok etnis dan/atau masyarakat, dan berbagai perilaku yang menunjukkan degradasi moral yang menjauh dari nilai, etika, dan moralitas sebagai bangsa Indonesia.
Profil peserta didik dan umumnya warga negara yang baik, yakni warga negara yang memiliki pengetahuan/pemahaman akan hak dan kewajiban, bersikap santun, beretika, bermoral dan/ atau berperilaku mulia serta berkarakter kebangsaan Indonesia sangat penting dan mendesak bahkan perlu segera terwujud.
Fenomena sikap dan perilaku negatif yang jauh dari sifat warga negara yang cerdas dan karakter bangsa yang baik sedikit/banyak telah menjadi tanggung jawab lembaga dan perangkat pendidikan serta pihak-pihak yang terkait. Salah satu unsurnya adalah komunitas akademik PKn dan salah satu perangkat sebagai unsur pendunkungnya adalah kurikulum pendidikan kewarganegaraan.