Peringatan Hari Kartini SMP N 1 Sluke.. Diisi dg aneka lomba..

hmm Amazing.. sukses dan Bravo selalu buat SMPN 1 Sluke..

Sesi Pembukaan Penataran

di Hotel Lorin Syariah Solo', biarpun lagi spaneng, tapi tetep axiz aja khan?? Pak Wahononya lagi dapet orderan udang windu kanyaknya nih, ato Batu AKIK Pak?

Kumpul Kangen Keluarga besar anak didik SMPN 1 Sluke

Moment Indah Inthan Phutriy bersama Auldya Lestari, ÇHúèxz, de-eL-eL di SMPN 1 Sluke.

Pendampingan Pelaksanaan Kurikulum 2013

Tingkat SMP Bagi Tim Pengembang Kurikulum 2013 se Kabupaten/Kota Jawa Tengah.

Moment Ekspresi Diri yang Apik

Gladi bersih Pelatihan Persiapan Terbang ke Bulan..

Minggu, 19 April 2015

Banyak sekolah yang belum siap, kurikulum 2013 tak berlanjut

Dengan  kondisi tersebut, saat ini posisi guru TIK belum jelas.  

BANYUMAS, suaramerdeka.com –
Kasi Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPTK) Dikdas Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Susmoro menyebut, seiring berjalannya waktu dan adanya pergantian pemerintahan, kurikulum 2013 ternyata tidak berlanjut dengan pertimbangan banyaknya sekolah yang belum siap.

Dengan adanya kebijakan ini, maka otomatis sekolah harus kembali menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).

”Dalam kurikulum KTSP, mata pelajaran TIK diajarkan di bangku sekolah, khususnya jenjang SMP.  Bahkan mapel itu berlaku secara nasional dan diberikan di semua sekolah, tetapi jumlahnya hanya dua jam dalam sepekan,” tambahnya.

Dengan  kondisi tersebut, saat ini posisi guru TIK belum jelas.  Pasalnya hingga sekarang belum ada peraturan terbaru yang dikeluarkan pemerintah pusat.

”Apakah mereka menggunakan aturan yang berlaku saat kurikulum 2013 diterapkan atau kembali lagi ke kondisi awal saat kurikulum KTSP diberlakukan,” tandasnya.
sumber: http://berita.suaramerdeka.com/kurikulum-2013-tak-berlanjut-karena-banyak-sekolah-belum-siap/



PGRI dukung Ahok pecat Kepala Sekolah SMA N 3 Jakarta

Hasman mengatakan, kedatangan Retno ke SMA N 2 Jakarta Barat sangat tidak mencerminkan tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah

Merdeka.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja marah besar kepada Kepala Sekolah SMA N 3 Jakarta Retno Listyarti yang tidak berada di sekolah saat Ujian Nasional berlangsung. Wakil Ketua PGRI DKI Jakarta Hasman Arsyad menilai kemarahan tersebut wajar terjadi.

Hasman mengatakan, kedatangan Retno ke SMA N 2 Jakarta Barat sangat tidak mencerminkan tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah. Bahkan, dia menilai, karena kelalaian tersebut maka wajar jika Dinas Pendidikan DKI Jakarta memecatnya dari posisinya sekarang.

"Kami melihat kalau dari ketentuan dan etika, kepala sekolah harus berada di sekolah tidak boleh berada di luar sekolah, apalagi ketika ujian nasional. Kalau sudah begini tidak layak lagi jadi kepala sekolah," tegasnya saat dihubungi merdeka.com, Sabtu (18/4).

Menurutnya, rencana Basuki atau akrab disapa Ahok untuk memecat Retno sudah sangat tepat. Karena sikap kepala sekolah SMA N 3 Jakarta ini bisa menjadi contoh buruk untuk kepala sekolah lainnya.

"Untuk itu PGRI mendukung sekali rencana Gubernur untuk memecatnya. Mana ada kepala sekolah kaya gitu? Dia bukan contoh yang baik dan lalai pada tanggung jawab," tutup Hasman.

Sebelumnya, Ahok memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan Arie Budhiman untuk memecat Retno. Karena memecat kepala sekolah bukan wewenangnya sebagai pemimpin kepala daerah.

"Dia mesti dipecat dari kepala sekolah. Tapi Dinas yang akan lakukan, bukan saya yang bisa pecat," tegasnya di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (17/4).

Kesalahan Retno adalah datang ke SMA N 3 Jakarta Barat ketika Presiden Joko Widodo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan Basuki melakukan peninjauan UN. Saat itu Retno malah diwawancarai salah satu stasiun televisi dan tidak mengenakan seragam.

"Pertama, dia enggak pakai seragam dan kedua, dia juga masih pegang organisasi. Ingat Anda (Retno) ini kepala sekolah loh, bukan cuman guru," kata mantan Bupati Belitung Timur ini.

Kepala Dinas Pendidikan dan Budaya Arie Budhiman menegaskan, seharusnya selama berlangsungnya Ujian Nasional Kepala Sekolah harus berada di tempat kerja. Karena, berjalannya ujian akhir ini berada di bawah tanggung jawab Kepala Sekolah.

"Harusnya dia dengan alasan apapun haru bertanggung jawab terhadap sekolahnya. Saya rasa itu kan tidak bertanggung jawab," ungkapnya di SMK N1 Budi Utomo, Jakarta Pusat, Selasa (14/4).

Dia menyatakan, Basuki atau akrab disapa Ahok pasti tidak akan senang dengan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh Retno. Terlebih saat mengikuti peninjauan di SMA N 3 Jakarta Barat, Retno tidak menggunakan seragam dan melakukan wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta.

"Saya kira Gubernur menyatakan tidak suka dengan kondisi seperti itu. Pasti akan kami berikan teguran. Apapun alasannya seseorang harus bertanggungjawab pada saat ujian nasional. Dia harus ada di tempatnya," tegas mantan Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta ini.

Saat dikonfirmasi mengenai perilaku Retno ini, Ahok nampak geram dengan bawahannya tersebut. Dia menegaskan akan memeriksa Kepala Sekolah tersebut dan harus memberikan sanksi kepada Retno.

"Makanya nanti akan kami periksa dan kasih sanksi. Nanti Kadis (Pendidikan dan Budaya) yang akan urus. Makanya harusnya enggak boleh dia (keluyuran saat UN), ngapain coba. Terus mana tadi (saat Retno ke SMA 3), dia enggak pakai seragam (seragam dinas Kepsek berwarna biru donker) lagi," tutupnya.
http:://www.merdeka.com/jakarta/pgri-dukung-ahok-pecat-kepala-sekolah-sma-n-3-jakarta.html

Rabu, 15 April 2015

Penguatan Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan



Peta analisis penguatan nilai budaya dan karakter bangsa, kewirausahaan (kreativitas), dan belajar aktif.
Peta analisis penguatan nilai budaya dan karakter bangsa, kewirausahaan (kreativitas), dan belajar aktif dikembangkan agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Peta penguatan nilai penting sebagai langkah strategis untuk pengembangan kurikulum di masa depan yang perlu dirancang sedini mungkin. 

Hal ini harus dilakukan agar sistem pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS). Dengan cara seperti ini lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap kepentingan peserta didik, dan sekaligus dapat memenuhi tuntutan hidup dalam pergaulan masyarakat global.

Peta penguatan nilai akan dibahas lebih rinci pada bagian berikutnya dan secara lengkap dokumennya dapat dilihat di Lampiran. Implementasi dari peta penguatan nilai ini adalah tersediannya dokumen sebagai panduan bagi satuan pendidikan untuk mengembangkan nilai budaya dan karakter bangsa, kewirausahaan (kreativitas), dan belajar aktif di tempatnya masing-masing.

PENATAAN ULANG KURIKULUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


BAB III
PENATAAN ULANG KURIKULUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Kajian Dokumen dan Implementasi

Kajian dokumen dan implementasi dilakukan untuk dapat dijadikan bahan pembahasan dalam penataan kurikulum. Pembahasan kajian dokumen meliputi:

1. Analisis Strand PKn dan Peta Kompetensi
Fungsi, tujuan, SKL jenjang dan SKL mata pelajaran sudah terlihat memiliki hubungan yang saling terkait, hanya saja antara SKL Mata Pelajaran, SKL Jenjang, Tujuan dan Fungsi belum menunjukkan adanya hubungan yang hierarkis dan berjenjang. Agar SKL Jenjang dan SKL Mata Pelajaran menunjukkan adanya hubungan yang terkait dan berjenjang, maka uraian fungsi hendaknya bersifat lebihabstrak, kemudian dirinci lebih luas dalam uraian tujuan. SKL jenjang hendaknya merupakan jabaran dari tujuan, dan SKL Mata Pelajaran hendaknya merupakan jabaran dari SKL Jenjang. SKL mata pelajaran harusnya merupakan gabungan dari SK/KD selama 3 tahun sehingga menggambarkan pemberian dasar-dasar kemampuan intelektual, pengetahuan, dan teknologi. Kelemahan lainnya adalah antara SKL jenjang dan SKL mata pelajaran masih terdapat ketidaksinambungan dan SKL mata pelajaran lebih menitikberatkan pada kemampuan kognitif.

Implementasi dari hasil analisis strand PKn atau peta kompetensi ini adalah perlu segera disusun dan dikembangkan strand IPA atau peta kompetensi yang dapat mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan, budaya dan karakter bangsa, serta pembelajaran aktif. Peta kompetensi juga harus mampu berorientasi pada kurikulum masa depan yang perlu diberikan penguatan atas dasar hasil perbndingan dengan kurikulum yang berlaku di luar negeri.

2. Kajian Kurikulum Luar Negeri
Pengkajian Standar Isi dengan kurikulum negara lain dapat memperluas dan memperkaya gambaran nasional dengan menyiapkan konteks yang lebih luas untuk menafsirkan hasil kurikulum yang akan digunakan. Kajian ini dapat memfasilitasi tersedianya akses informasi bagi untuk menimbang kekuatan dan kelemahan relatif kurikulum yang berlaku di negaranya, dan untuk memantau kemajuan implementasi kurikulum tersebut di negaranya. Hasil studi tersebut juga dapat menstimulasi untuk meningkatkan aspirasinya serta memyediakan bukti-bukti pendukung untuk mengarahkan kebijakan nasional, untuk pengembangan kurikulum sekolah dan upaya-upaya pembelajaran, dan untuk belajar para siswanya.
3. Peta analisis penguatan nilai budaya dan karakter bangsa, kewirausahaan (kreativitas), dan belajar aktif

Peta analisis penguatan nilai budaya dan karakter bangsa, kewirausahaan (kreativitas), dan belajar aktif dikembangkan agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Peta penguatan nilai penting sebagai langkah strategis untukpengembangan kurikulum di masa depan yang perlu dirancang sedini mungkin. Hal ini harus dilakukan agar sistem pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS). Dengan cara seperti ini lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap kepentingan peserta didik, dan sekaligus dapat memenuhi tuntutan hidup dalam pergaulan masyarakat global.

Peta penguatan nilai akan dibahas lebih rinci pada bagian berikutnya dan secara lengkap dokumennya dapat dilihat di Lampiran. Implementasi dari peta penguatan nilai ini adalah tersediannya dokumen sebagai panduan bagi satuan pendidikan untuk mengembangkan nilai budaya dan karakter bangsa, kewirausahaan (kreativitas), dan belajar aktif di tempatnya masing-masing.
Analisis Standar Kompetensi Lulusan
KOMPONEN Analisis Evaluasi Kompetensi Lulusan SMP
SKL (PP 17)

SKL Standar Isi
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri
3. Menunjukkan sikap percaya diri
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
10. Mendeskripsi gejala alam dan sosial
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektifdan santun
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat
18. Menghargai adanya perbedaan pendapat
19. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana
20. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana
21. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah

Fungsi (PP 17) Pendidikan pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat berfungsi:
a. mengembangkan, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak
mulia, dan kepribadian luhur yang telah
dikenalinya;
b. mengembangkan, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta
tanah air yang telah dikenalinya;
c. mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan dan
teknologi;
d. melatih dan mengembangkan kepekaan dan
kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan
harmoni;
e. mengembangkan bakat dan kemampuan di
bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan
kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f. mengembangkan kesiapan fisik dan mental
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan menengah dan/atau untuk hidup
mandiri di masyarakat.
B. Perbandingan Kurikulum Nasional dan Internasional

Studi komparasi internasional dapat memperluas dan memperkaya gambaran nasional dengan menyiapkan konteks yang lebih luas untuk menafsirkan hasil sebuah negara. Studi-studi tersebut dapat memfasilitasi informasi bagi negara-negara untuk menimbang kekuatan dan kelemahan relatif negaranya, dan untuk memantau kemajuan negaranya. Hasil studi tersebut juga dapat menstimulasi negara-negara peserta untuk mening-katkan aspirasinya serta memyediakan bukti-bukti pendukung untuk mengarahkan kebijakan nasional, untuk pengembangan kurikulum sekolah dan upaya-upaya pembelajaran, dan untuk belajar para siswanya.

Seluruh stakeholders juga masyarakat umum, perlu mendapat informasi yang cukup tentang seberapa baik sistem pendidikan di negaranya dalam mempersiapkan para siswa untuk dapat bertahan hidup. Banyak negara memantau pembelajaran siswanya agar memper-siapkan diri untuk menjawab tantangan tersebut. Asesmen dan evaluasi dibarengi dengan insentif yang tepat dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih baik (a), memotivasi guru-guru untuk mengajar secara lebih efektif (b), dan memotivasi sekolah-sekolah menjadi lingkungan yang lebih mendukung dan lebih produktif.
Analisis Struktur Kurikulum Pendidikan kewarganegaraan SMPdi Amerika Serikat, Australia dan Indonesia.

Analisa terhadap Pemetaan Struktur Kurikulum. Berdasarkan perbandingan yang ada struktur kurikulum PKn di Indonesia hanya memuat tiga komponen yaitu: Latar Belakang, tujuan dan Ruang Lingkup, sedangkan Kurikulum PKn Amerika Serikat telah memasukan enam komponen dasar yaitu; Rasional untuk Pendidikan Kewarganegaraan dan Pemerintahan, Tujuan dan Standar, Standar Isi dan kemampuan Intelektual serta kemampuan siswa, Standar Kinerja, Materi dalam Standar Isi dan Pengguna dan Sasaran Standar isi. Struktur kurikulum PKn Australia memuat 8 komponen yaitu; Alam dan Kepentingannya, Struktur, Prosedur Penilaian, Kekhususan-kekhususan, Siswa dengan kekurangan dan hambatan hambatannya, Bahasa Inggris Sebagai bahasa Kedua, Hubungan kebijakan nasional dan profilnya, dan Program Pendidikan pada Tiap Jenjang.

Analisa terhadap Isi/ Konten dari Struktur Kurikulum. Dari lima konten/isi pada struktur pendidikan kewarganegaraan, maka PKn di Amerika Serikat sangat lengkap kajiannnya baik pada tandar kompetensi, maupun pada kompetensi dasar dan setiap komponen mempunyai penjabaran yang sangat lengkap. PKn di Australia secara umum lebih sederhana, tetapi setiap komponen mempunyai SK dan KD yang memadai, tetapi lebih sederhana. Untuk PKn SMP di Indonesia terdapat beberapa catatan khusus:
a. Tidak semua komponen diatas yaitu 5 komponen kita lengkapi, kita baru mengisi tiga komponen yaitu komponen pertama, kedua dan ketiga. Komponen keempat dan kelima belum terpenuhi.
b. Penyebaran materi yang cenderung tidak seimbang antar komponen yang ada sehingga ada komponen yang sangat lengkap, tetapi ada juga kmponen yang tidak terisi.
c. Dari substansi materi, kita belum membahas masalah ekonomi/kebijakan ekonomi, lingkungan dan budaya masyarakat dan pemanfaatan sumber daya.

Dari analisa diatas, kurikulum PKn SMP perlu dikaji ulang dan penguatan agar lima komponen yang ada terwakili sehingga struktur isi kurikulum PKn lebih baik di masa mendatang.
C. Penataan Kurikulum Mata Pelajaran PKn

Ada beberapa asumsi normatif dan asumsi positif mengenai PKn masa depan, sebagai berikut.
1. Bahwa selama Negara Indonesia berdiri, Pembukaan UUD 1945 tidak akan berubah karena diterima sebagai inti komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final ketatanegaran RI, sebagaimana hal itu menjadi komitmen MPR.
2. Bahwa tatanan kehidupan demokrasi Indonesia pada dasarnya merupakan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila sebagaimana tersurat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
3. Bahwa pembangunan demokrasi konstitusional Indonesiamengandung missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi melalui instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan pendidikan demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan.
4. Bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana psiko-pedagogis pada domain kurikuler, sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan epistemologis pada domain akademik, dalam pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia.
5. Bahwa sebagai wahana pendidikan demokrasi, pendidikan kewarganegaraan berfungsi mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang koheren dari konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.
6. Bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menegah serta pendidikan tinggi, memiliki fungsi sebagai pendidikan untuk membangun karakter bangsa, yang secara substansial dirancang secara nasional, dan diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan pendidikan.
7. Bahwa pendidikan untuk kewarganegaraan Indonesia yang demokratis yang menjadi missi PKn, tidak bersifat chauvenistik,melainkan berwawasan kosmopolit guna menghasilkan warganegara Indonesia yang baik dan cerdas, dan sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.

Bertolak dari ke 7 asumsi tersebut, ada beberapa substansi kebijakan nasional tentang Kurikulum PKn Masa depan sebagai berikut.
1. Sebagai sumber ide dan norma inti dari PKn, perlu kajian mendalam terhadap ide, dan nilai yang secara substantif terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dalam konteks historis dan sosio-politis tumbuh dan berkembangnya komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final ketatanegaran RI.
2. Sebagai instrumentasi dari ide dan norma inti Pancasila dan UUD 1945, perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadaptatanan kehidupan demokrasi Indonesia sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
3. Dalam rangka pembangunan demokrasi konstitusional Indonesiayang mengandung missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi Pancasila, perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadap visi dan missi nasional dari instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan aras pendidikan demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan.
4. Diperlukan reposisi dan rekonseptualisasi pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana: psiko-pedagogis pada domain kurikuler, sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan epistemologis pada domain akademik, dalam pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia.
5. Pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi, perlu difungsikan sebagai wahana pendidikan yang mampu mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak semua unsur bangsa Indonesia secara koheren dengan konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.
6. Pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulumpendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, perludirancang secara sistemik untuk membangun karakter bangsa,yang secara substansial-nasional dapat diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan pendidikan.
7. Perlu dilakukan antisipasi yang komprehensif agar pendidikan untuk kewarganegaraan Indonesia yang demokratis melalui PKn,tidak bersifat chauvenistik, melainkan berwawasan kosmopolitdalam menghasilkan warganegara Indonesia yang baik dan cerdas, dan sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.

Ke 7 (tujuh) substansi kebijakan kurikulum tersebut merupakankebijakan dasar yang diharapkan menghasilkan pemikiran komprehensif tentang pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia untuk berbagai domain, yang dapat memberi masukan yang secara akademik valid, secara sosio-politis dan sosiokultural akseptabel, dan secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis layak bagi pengembangan dan perwujudan pendidikan kewarganegaraan Indonesia.

Elemen pendidikan kewarganegaraan yang memerlukan reposisi dan rekonseptualisasi untuk masa depan, antara lain:
1. Grand design pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
2. Kerangka sistemik kompetensi kewarganegaraan lulusanpendidikan berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
3. Kerangka sistemik isi pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
4. Kerangka sistemik proses pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
5. Kerangka sistemik asesmen dalam pendidikan kewarganegaraanuntuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
6. Kerangka sistemik dan programatik pendidikan dan pelatihan guru/tutor pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
7. Kerangka akademik penelitian dan pengembangan pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pola penataan PKn dimasa depan menekankan pembahasannya kedalam tiga strand yaitu Etika, Moral dan Civics. Untuk satuan pendidikanSMP/MTs lebih b menekankan pada aspek moral.

Paradigma pendidikan kewarganegaraan di tingkat pendidikan dasar dan menengah dilakukan melalui tiga strand yaitu etika, moral dan civics. Pembahasan ketiga strand ini perlu dideskripsikan secara jelas.Konsep etika, moral dan civics merupakan konsep yang perlu dipahami secara benar. Agar peserta didik memiliki pemahaman dan persepsi yang sama terhadap ketiga strand tersebut, maka berikut akan diuraikan pengertian-pengertian dan karakteristik istilah-istilah tersebut menurut para ahli.
1. Pengertian Etika
Nilai dapat dibagi dalam dua bidang yaitu nilai estetika dan etika. Estetika terkait dengan masalah keindahan atau apa yang dipandang indah (beautiful). Sedangkan etika terkait dengan tindakan/perilaku/akhlak (conduct) atau bagaimana seseorang harus berperilaku. Etika terkait dengan masalah moral, yakni pertimbangan reflektif tentang mana yang benar (right) dan mana yang salah (wrong).
Etika diberikan untuk peserta didik di SD/MI karena lebih banyak pada perilaku-perilaku yang seharusnya dimiliki oleh siswa pada jenjang tersebut. Karakteristik perkembangan kognitif pada siswa Sekolah Dasar menurut teori Piaget, jika dihubungkan dengan kemampuan yang dapat didemonstrasikan berdasarkan taksonomi Bloom, maka aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis sudah dapat diterapkan.

2. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari bahasa Latin, mores, yaitu adat kebiasaan. Istilah ini erat dengan proses pembentukan kata, ialah:mos, moris, manner, manners, morals. Dalam bahasa Indonesia kata moral hampir sama dengan akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau hati nurani yang dapat menjadi pembimbing tingkah laku lahir dan batin manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, moral erat kaitannya dengan ajaran tentang sesuatu yang baik dan buruk yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.

Tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang dianut dan ditampilkan secara sukarela diharapkan dapat diperoleh melalui proses pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai transisi dari pengaruh lingkungan masyarakat hingga menjadi otoritas di dalam dirinya dan dilakukan berdasarkan dorongan dari dalam dirinya. Tindakan yang baik yang dilandasi oleh dorongan dari dalam diri inilah yang diharapkan sebagai hasil pendidikan nilai dalam pendidikan kewarganegaraan.

Moral diberikan pada peserta didik pada tingkatan SMP/MTs karena peserta didik pada periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasionalkan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat oleh objek-objek yang bersifat kongkret. Perilaku kognitif yang tampak pada siswa antara lain :
a. Kemampuan berpikir hipotesis-deduktif
b. Kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada.
c. Kemampuan mengembangkan suatu proporsi atas dasar proporsi-proporsi yang diketahui
d. Kemampuan menarik generalisasi dan inferensi dari berbagai katagori objek yang beragam.
3. Pengertian Civics

CIVITAS International (2006) yang merumuskan kosep civics secara lebih luas seperti berikut.
“Civic education involves many things: the study of constitutions; the rule of law and the operations of public institutions; the study of electoral processes;instruction in the values and attitudes of good citizenship; the development of the skills of government and politics; issues of human rights and intergroup relations; and conflict resolution.Civic education is pedagogy, encompassing education and training of both youths and adults in and outside of schools. Civic education can also take place through radio and televition broadcasting and othr means. Distance learning techniques are increasingly important, particularly in the developing world.

Pengembangan kurikulum PKn untuk SMP/MTs, lebih menekankan pada pengembangan moral kewarganegaraan dalam kerangka pembangunan karakter dan perilaku warga negara untuk turut serta berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara rinci pemetaan strand PKn dapat dilihat pada table berikut:
STRAND MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
NO STRAND SUB STRAND
1 Pancasila
A. Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara
B. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara
C. Pancasila sebagai ideologi terbuka
D. Pancasila sebagai sumber hukum dan konstitusi negara
E. Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari
F. Demokrasi Pancasila dan masyarakat madani di Indonesia

2 Konstitusi Negara, Hukum, dan Hak Asasi Manusia
A. Ketertiban dan keadilan dalam kehidupan di keluarga
B. Ketertiban dan keadilan dalam kehidupan di sekolah
C. Ketertiban dan keadilan dalam kehidupan di masyarakat
D. Sistem hukum dan sistem peradilanIndonesia
E. Hukum dan lembaga internasional
F. Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi di Indonesia
G. Pemajuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia

3 Demokrasi dan Sistem Politik Indonesia A. Etika Demokrasi
B. Hidup gotong royong
A. Kemajemukan dan persatuan Indonesia
B. Permusyawaratan dan perwakilan
C. Kebebasan berorganisasi, dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat
D. Persamaan kedudukan warga negara
E. Cinta tanah air, negara, dan bangsa
F. Sistem pemerintahan Indonesia
G. Sistem pemerintahan daerah

4 Hubungan Internasional A. Globalisasi dan perkembangan IPTEKS
B. Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi
C. Hubungan internasional dan organisasi internasional
D. Peran serta warga negara dalam era globalisasi

Landasan Penyusunan Naskah Akademik (BAB II)


BAB II
LANDASAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

A. Landasan Yuridis

Penyusunan naskah akademik tentang penataan ulang kurikulum pendidikan di Indonesia berlandaskan pada:
1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencara Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang menyatakan bahwa: pembangunan manusia sebagai insan menekankan pada manusia yang berharkat, bermartabat, bermoral dan memiliki jati diri serta karakter tangguh baik dalam sikap mental, daya pikir maupun daya ciptanya.
2. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang menyatakan prioritas 2 sektor pendidikan yang meliputi unsur metodologi dan kurikulum. Dikemukakan bahwa:
a. Penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test), namun pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti, kecintaan terhadap budaya-bahasa Indonesia melalui penyesuaian sistem Ujian Akhir Nasional pada 2011 dan penyempurnaan kurikulum sekolah dasar dan menengah sebelum tahun 2011 yang diterapkan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% pada 2014;
b. Penataan ulang kurikulum sekolah yang dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong penciptaan hasil didik yang mampu menjawab kebutuhan SDM untuk mendukung pertumbuhan nasional dan daerah dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan (diantaranya dengan mengembangkan model link and match);

3. Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 6 Tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif, dengan sasaran: Insan Kreatif dengan pola pikir dan moodset kreatif; arahnya pada peningkatan SDM kreatif yang berkualitas secara berkesinambungan dan tersebar merata di wilayah Indonesia, dan strateginya dengan melakukan kajian dan revisi kurikulum pendidikan dan pelatihan agar lebih berorientasi pada pembentukan kreativitas dan kewirausahaan pada anak didik sedini mungkin.
4. Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional. Diantaranya menyatakan bahwa penyempumaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.

B. Landasan Teoretik
1. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang studi yang bersifatmultifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan atau lebih dikenal dengan bidang kajian yang mutidimensional sebqagai integrasi dari disiplin ilmu politik, hukum, pendidikan, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya yang dapat mendukung pembentukan warga negara yang baik. Namun secara filsafat keilmuan ia memiliki ontology pokok ilmu politik khususnya konsep “political democracy” untuk aspek“duties and rights of citizen”(Chreshore:1886). Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa Latin “civicus” yang artinya warga negara pada jaman Yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”, yang selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn). Secara epistemologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima tradisi “social studies”yakni “citizenship transmission” (Barr, Barrt, dan Shermis:1978).Dikemukakan pula oleh Winataputra (2001) bahwa saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “body of knowledge”yang dikenal dan memiliki paradigma sistemik yang didalamnyaterdapat tiga domain “citizenship education” yakni: domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural”.
Ketiga domain itu satu sama lain memiliki saling keterkaitan struktural dan fungsional yang diikat oleh konsepsi “civic virtue and culture” yang mencakup “civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic commitment, dan civic competence” ( CCE:1998). Oleh karena itu, ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas social-kultural PKn saat ini benar-benar bersifat multifaset/ multidimensional. Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi.

Kemana arah pengembangan PKn di Indonesia? Hal itu tergantung dari aspek ontology mana kita berangkat, dengan metode kerjaepistemology mana pengetahuan itu dibangun, dan untuk arah tujuan aksiologis mana kegiatan itu akan membawa implikasi. Bagi negara kita, Indonesia, arah pengembangan PKn tidak boleh keluar dari landasan ideologis Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku.

Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu bentuk dari domain kurikuler PKn. Sesuai dengan namanya, PKn merupakan mata pelajaran dalam Kurikulum SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK. Sebagai mata kuliah dalam program pendidikan tenaga kependidikan, PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan dan sebagai “subject-specific pedagogy” atau pembelajaran materi subjek untuk guru PKn. Sebagai mata pelajaran di tingkat satuan pendidikan, PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan kewarganegaraan untuk warga negara muda usia. Secara ontologis, mata pelajaran ini berangkat dari nilai-nilai Pancasila dan konsepsi kewarganegaraan. Secara epistemologis, mata pelajaran ini merupakan program pengembangan individu, dan secara aksiologis mata pelajaran ini bertujuan untuk pendewasaan peserta didik sebagai anggota masyarakat, warga negara, dan komponen bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, karakteristik kurikulum PKn yang perlu dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hendaknya diarahkan dengan tujuan untuk mencapai target hingga terjadinya artikulasi proses “belajar tentang, melalui proses, dan untuk menumbuhkan demokrasi konstitusional Indonesia sesuai dengan UUD 1945”, yang secara konseptual diadaptasi dari konsep“learning about, through, and for democracy” (CIVITAS: 1996, 2001; Kerr:1996; Winataputra, 2001). Oleh karena itu, secara umum pembelajaran PKn di Sekolah Dasar, misalnya, adalah pengembangan kualitas warga negara secara utuh, dalam aspek-aspek:
 kemelek-wacanaan kewarganegaraan (civic literacy), yakni pemahaman peserta didik sebagai warga negara tentang hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia serta menyesuaikan perilakunya dengan pemahaman dan kesadaran itu;

 komunikasi sosial kultural kewarganegaraan (civic engagement),yakni kemauan dan kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk melibatkan diri dalam komunikasi sosial-kultural sesuai dengan hak dan kewajibannya.
 pemecahan masalah kewarganegaraan (civic skill and participation), yakni kemauan, kemampuan, dan keterampilan peserta didik sebagai warga negara dalam mengambil prakarsa dan/atau turut serta dalam pemecahan masalah sosial-kultur kewarganegaraan di lingkungannya.
 penalaran kewarganegaraan (civic knowledge), yakni kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk berpikir secara kritis dan bertanggungjawab tentang ide, instrumentasi, dan praksis demokrasi konstitusional Indonesia.

 partisipasi kewarganegaraan secara bertanggung jawab ( civic participation and civic responsibility), yakni kesadaran dan kesiapan peserta didik sebagai warga negara untuk berpartisipasi aktif dan penuh tanggung jawab dalam berkehidupan demokrasi konstitusional. (Dokumen SKGK, Depdiknas, 2004)

PKn untuk persekolahan sangat erat kaitannya dengan dua disiplin ilmu yang erat dengan kenegaraan, yakni Ilmu Politik dan Hukum yang terintegrasi dengan humaniora dan dimensi keilmuan lainnya yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, PKn di tingkat persekolahan bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik (to be smart dan good citizen). Warga negara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan adalah warga Negara yang cerdas dan baik, yakni warga negara yang bercirikan tumbuh-kembangnya kepekaan, ketanggapan, kritisasi, dan kreativitas sosial dalam konteks kehidupan bermasyarakat secara tertib, damai, dan kreatif. Para peserta didik dikondisikan untuk selalu bersikap kritis dan berperilaku kreatif sebagai anggota keluarga, warga sekolah, anggota masyarakat, warga negara, dan ummat manusia di lingkungannya yang cerdas dan baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil berbuat(learning by doing), belajar memecahkan masalah sosial (social problem solving learning), belajar melalui perlibatan sosial (socio-participatory learning), dan belajar melalui interaksi sosial-kultural sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat.

Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di Indonesia seperti yang berkembang di negara lain memiliki multidimensional, artinya bahwa program PKn bukan hanya untuk satu tujuan. Winataputra (2001) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi PKn, yakni: (1) PKn sebagai program kurikuler; (2) PKn sebagai program akademik; dan (3) PKn sebagai program sosial kultural. Dalam pelaksanaan program, tiga dimensi ini dapat saja terjadi secara simultan atau secara bersamaan (overlaping), khususnya dalam mencapai tujuan umum, yakni membentuk warga negara yang cerdas dan baik.Khusus untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan PKn dapat dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian Penjelasan Pasal 37 ayat (1) bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.”

Domain PKn sebagai program kurikuler merupakan program PKn yang dirancang dan dibelajarkan kepada peserta didik pada jenjang satuan pendidikan tertentu. Melalui domain ini, proses penilaian dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap program pembelajaran dan program pembangunan karakter. Namun diakui oleh para pakar bahwa pencapaian program PKn dalam domain kurikuler belumlah optimal karena masih adanya kelemahan dalam dimensi kurikuler, seperti masalah landasan, pengorganisasian kurikulum, buku pelajaran, metodologi, dan kompetensi guru.

Domain PKn sebagai program akademik merupakan program kajian ilmiah yang dilakukan oleh komunitas akademik PKn menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah konseptual dan operasional guna menghasilkan generalisasi dan teori untuk membangun batang tubuh keilmuan PKn. Kajian ini lebih memperjelas bahwa PKn bukan semata-mata sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah melainkan pendidikan disiplin ilmu yang memiliki tugas komprehensif dalam arti bahwa semua community of scholars mengemban amanat (missions) bukan hanya di bidang telaah instrumental, praksis-operasional dan aplikatif melainkan dalam bidang kajian teoritis-konseptual yang terkait dengan pengembangan struktur ilmu pengetahuan dan body of knowledge.

Domain PKn sebagai program sosial kultural pada hakikatnya tidak banyak perbedaan dengan program kurikuler dilihat dari aspek tujuan, pengorganisasian kurikulum dan materi pembelajaran.Perbedaan terutama pada aspek sasaran, kondisi, dan karakteristikpeserta didik. Program PKn ini dikembangkan dalam konteks kehidupan masyarakat dengan sasaran semua anggota masyarakat.Tujuannya lebih pada upaya pembinaan warga masyarakat agar menjadi warga negara yang baik dalam UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pada bagian Pembukaan alinea keempat memberikan dasar pemikiran tentang tujuan negara. Salah satu tujuan negara tersebut dapat dikemukakan dari pernyataan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Apabila dikaji, maka tiga kata ini mengandung makna yang cukup dalam. Mencerdaskan kehidupan bangsa mengandung pesan pentingnya pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Dalam kehidupan berkewarganegaraan, pernyataan ini memberikan pesan kepada para penyelenggara negara dan segenap rakyat agar memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku secara cerdas baik dalam proses pemecahan masalah maupun dalam pengambilan keputusan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan.
UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas sebagai landasan operasional penuh dengan pesan yang terkait dengan pendidikan kewarganegaraan. Pada Pasal 3 ayat (2) tentang fungsi dan tujuan negara dikemukakan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Selanjutnya, pada Pasal 37 ayat (1) dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: “... b. pendidikan kewarganegaraan; ...” dan pada ayat (2) dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: “... b. pendidikan kewarganegaraan; ...”. Sedangkan pada bagian penjelasan Pasal 37 dikemukakan bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.”
Adanya ketentuan tentang pendidikan kewarganegaraan dalam UU Sisdiknas sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menunjukkan bahwa mata pelajaran ini menempati kedudukan yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional di negara ini. Adapun arah pengembangannya hendaknya difokuskan pada pembentukan peserta didik agar menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Arah pengembangan pendidikan nasional pada era reformasi mengacu pada UU Sisdiknas yang dioperasionalkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Sejalan dengan kebijakan otonomi pendidikan, maka pengembangan kurikulum sekolah tidak lagi dibebankan kepada pemerintah pusat sebagaimana terdahulu melainkan diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan. Pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional hanya menyediakan standar nasional yakni berupa standar isi dan standar kompetensi lulusan sementara pelaksanaan pengembangan kurikulum dilaksnakan oleh setiap satuan pendidikan sesuai dengan jenjang dan jenisnya. Sebagai landasan kurikulernya,pendidikan kewarganegaraan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu pada Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006 masing-masing tentang SI dan SKL.

Berlakunya ketentuan tentang otonomi pendidikan membawa implikasi bagi setiap satuan pendidikan termasuk implikasi dalam pengembangan kurikulum.Bahwa mereka memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pengembangan kurikulum bahkan dalam pengelolaan bidang lainnya, namun di pihak lain mereka pun dituntut agar selalu meningkatkan kualitas satuan pendidikan yang sesuai dengan standar nasional terkait.
2. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai kemasan kurikuler: mata pelajaran atau mata kuliah

Dalam kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962, Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tahun 1994, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan tahun 1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Di negara lain kemasan kurikuler serupa itu dikenal sebagai civic education dalam konteks wacana pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis menurut konstitusi negaranya masing-masing. Sebagaimana berkembang di berbagai belahan dunia, tercatat adanya berbagainomenklatuur untuk itu, yakni: “Citizenship education” (UK), termasuk di dalamnya “civic education” (USA) atau disebut jugapendidikan kewarganegaraan (Indonesia), atau “ta’limatul muwwatanah/at tarbiyatul al watoniyah (Timur Tengah) atau“educacion civicas” (Mexico), atau “Sachunterricht” (Jerman) atau“civics” (Australia) atau “social studies” (New Zealand) atau “Life Orientation (Afrika Selatan) atau “People and society” (Hungary), atau “Civics and moral education” (Singapore) (Kerr: 1999; Winataputra:2001). Semua itu merupakan wahana pendidikan karakter ( character education) yang bersifat multidimensional(Cogan and Derricott: 1998) yang dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.

Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yakni pada pasal 37 menggariskan program kurikuler pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dikenal dua muatan wajib yakni pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah dua muatan wajib ini dirumuskan menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), sedang di Perguruan Tinggi dirumuskan menjadi dua mata kuliah, yakni Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan. Pada tahun 1985 mata kuliah Pendidikan Kewiraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.
Sesungguhnya, bila kita kembali pada konsepsi bahwa setiap negara memerlukan wahana edukatif untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya dan menjamin kelanggengan kehidupan negaranya, maka dualisme persepsi antara Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan tidak perlu terjadi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya untuk Indonesia, pendidikan kewarganegaraan itu adalah pendidikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah, komitmen utuh telah dicapai sesuai dengan legal framework yang ada, bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran wajib pada semua satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Aspek-aspek yang menjadi lingkup mata pelajaran ini, mencakup persatuan dan kesatuan bangsa, norma hukum dan peraturan, hak azasi manusia, kebutuhan warga negara, konstitusi negara, kekuasaaan dan politik, Pancasila, dan globalisasi. Walaupun dalam enumerasinya Pancasila ditempatkan sejajar dengan aspek lain, namun dalam pengorganisasian isi dan pengalaman belajar hendaknya ditempatkan sebagai core atau concerto dalamorkestrasi kesemua aspek untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan Pancasila secara generik. Dengan demikian untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat dikembangkanpendidikan kewarganegaraan yang koheren dengan pendidikan nilai-nilai Pancasila.
Untuk pendidikan tinggi sebaiknya bagaimana? Peserta didik di perguruan tinggi adalah pemuda dan orang dewasa yang mulai matang, bukan anak usia sekolah yang secara psikologis masih dalam proses perkembangan menuju kematangan. Secara multidimensional Pancasila dapat kita bagi dalam tiga tataran, yakni (a) Pancasila pada tataran filosofik-ideologik, (b) Pancasila pada tataran instrumental-sociokultural, dan (c) Pancasila pada tataran psikososial-individual dan kolektif. Pada tataran filosofik-ideologik Pancasila perlu dilihat sebagai integrated knowledge system yang memiliki dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang seyogyanya dikaji secara akademik/ilmiyah. Dalam konteks iniPancasila harus dilihat sebagai ideologi terbuka untuk pengembangan secara keilmuan. Pada tataran instrumental-sociokultural Pancasila merupakan sistem nilai yang menjadiingredient dan spirit/ethos dari keseluruhan sistem konstitusi dan kehidupan berkonstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks ini Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai dan moral yang melandasi kelembagaan, norma, dan mekanisme kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai parameter untuk menakar nilai substatif dari keseluruhan instrumentasi kehidupan kebernegaraan Indonesia, yang seyogyanya dikaji secara normatif-inferensial. Pada tataran psikososial-individual dan kolektif, Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai moral yang seyogyanya diwujudkan dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial-kultural individu dalam keseharian kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai sumber rujukan prilaku yang perlu diinternalisasi oleh individu dalam perannya sebagai anggota masyarakat, komponen bangsa, dan warga negara Indonesia.

3. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Proses Pendidikan: Praksis Pembelajaran

Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkanperubahan prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan kewarganegaaan adalah belajar atau learning. Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 butir 20 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada. Oleh karena itu proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai proses interaksisosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran.

Dalam kontes itu, maka pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian generik, harus diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian Kewarganegaraan. Karena itu konsep kajian kewarganegaraan menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient pembangunan watak dan peradaban Indonesia yang bermartabat. Dalam konteks itu maka satuan pendidikan seyogyanya dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan mencerdaskan.
4. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Upaya Sistemik Membangun Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan: Proses nation’s character building
Pengalaman sejarah serta budaya kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi suatu negara. Salah satu unsur dari budaya kewarganegaraan adalah“civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan yang terpancar dari nilai-nilai Pancasila mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau“civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani-Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraanyang ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukanadanya dan berperannya pendidikan pancasila yang menghasilkan demokrasi konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan-Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya budaya Pacasila yang menjadi inti dari masyarakat madani-pancasila yang demokratis. Inilah tantangan konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk membangun demokrasi konstitusional di Indonesia.

Masyarakat madani-Pancasila atau “civic community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila. Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik. Dari situ dapat ditangkap tantangan bagi pendidikan demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas kehidupan ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Secara teoritik, konsep civic culture atau budaya Pancasila terkait erat pada perkembangan democratic civil society atau masyarakat madani-Pancasila yang mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi, dalam pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi terikat oleh atribut-atribut khusus dalam konteks etnis, agama, atau kelas dalam masyarakat. Masyarakat sivil yang demokratis tidak mungkin berkembang tanpa perangkat budaya yang diperlukan untuk melahirkan warganya. Karena itu pula negara harus mempunyai komitmen untuk memperlakukan semua wara negara sebagai individu dan memperlakukan semua individu secara sama. Secara spesifik civic culture merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan …a set of ideas that can be embodied effectively in cultural representations for the purpose of shaping civic identities- atau seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warganegara.

Dalam Lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 secara normatif dikemukakan bahwa ”Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.” Sedangkan tujuannya, digariskan dengan dengan tegas, “adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan duniasecara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.”

Sementara itu ditetapkan pula bahwa ”Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.”

PKn merupakan mata pelajaran dengan visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional. Ia merupakan pendidikan nilai demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial, dan masalah pendidikan politik. Namun yang paling menonjol adalah sebagai pendidikan nilai dan pendidikan moral. Oleh karena itu secara singkat PKn dinilai sebagai mata pelajaran yang mengusung misi pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara lain sebagai berikut.
1. Materi PPKn adalah konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 45beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.
2. Sasaran belajar akhir PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam perilaku nyata kehidupan sehari-hari.
3. Proses pembelajarannya menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat kognitif) tetapidihayati (bersifat ojektif) dan dilaksanakan (bersifat perilaku).

Sebagai pengayaan teoritik, pendidikan nilai dan moral sebagaimana dicakup dalam PKn tersebut, dalam pandangan Lickona (1992) disebut "educating for character" atau "pendidikan watak". Lickona mengartikan watak atau karakter sesuai dengan pandangan filosof Michael Novak (Lickona 1992 : 50-51), yakniCompatible mix of all those virtues identified by religions traditions, literary stories, the sages, and persons of common sense down through history. Artinya suatu perpaduan yang harmonis dari berbagai kebajikan yang tertuang dalam keagamaan, sastra, pandangan kaum cerdik-pandai dan manusia pada umumnya sepanjang zaman. Oleh karena itu Lichona (1992, 51) memandang karakter atau watak itu memiliki tiga unsur yang saling berkaitan yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior atau konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku moral. Bila buah pemikiran Lickona (1992) tersebut kita kaitkan dengan karakteristik PKn SD, nampaknya kita dapat menggunakan model Lickona itu sebagai kerangka pikir dalam melihat sasaran belajar dan isi PKn. Setiap nilai Pancasila yang telah dirumuskan sebagai butir materi PKn pada dasarnya harus memiliki aspek konsep moral, sikap moral,dan perilaku moral.

Contohnya, untuk menanamkan nilai kejujuran dalam pembelajaran PKn harus menyentuh ketiga aspek seperti berikut:

Konsep Moral
1. Kesadaran perlunya kejujuran
2. Pemahaman tentang kejujuran
3. Manfaat kejujuran di masa depan
4. Alasan perlunya kejujuran
5. Bagaimana cara menerapkan kejujuran
6. Penilaian diri sendiri mengenai kejujuran

Sikap Moral
1. Kata hati kita tentang kejujuran
2. Rasa percaya diri kita untuk senantiasa berlaku jujur pada orang lain
3. Empati kita terhadap orang yang jujur
4. Cinta kita terhadap kejujuran
5. Pengendalian diri kita untuk selalu berlaku jujur
6. Rasa hormat kita kepada orang lain yang berlaku jujur
Perilaku Moral
1. Kemampuan bersikap dan berlaku jujur
2. Kemauan untuk senantiasa berusaha jujur
3. Kebiasaan untuk selalu bersikap dan berbuat jujur

Dari pembahasan kita mengenai PKn sebagai pendidikan nilai dan moral dikaitkan dengan konsep pendidikan watak kiranya kita dapat mencatat hal-hal sebagai berikut:

1. PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau karakter peserta didik sesuai dengan dan merujuk kepada nilai-nilai dan moral Pancasila.
2. Nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 dapat dikembangkan dalam diri peserta didik melalui pengembangan konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral setiap rumusan butir nilai yang telah dipilih sebagai materi PPKn.

Oleh karena itu bagi pendidikan di Indonesia PKn merupakan program pembelajaran nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 yang bermuara pada terbentuknya watak Pancasila dan UUD 45 dalam diri perserta didik. Watak ini pembentukannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi keterpaduan konsep moral, sikap moral dan perilaku moral Pancasila dan UUD 45. Dengan demikian pula kita dapat menegaskan kembali bahwa PKn merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang mencerminkan konsep, strategi, dan nuansa confluent education. Pendidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.

C. Landasan Empirik
Secara empiris, pembelajaran PKn saat ini, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan/proses, maupun penilaian belum sesuai dengan dengan yang diharapkan. Masih banyak kelemahan yang terjadi khususnya pada tahap proses pembelajaran sehingga tidak sedikit peserta didik tidak semangat belajar, merasa bosan, tidak senang, tidak menantang, bahkan tidak mau belajar PKn. Akibatnya, pembelajaran PKn saat ini dipandang belum secara efektif membangun peserta didik menjadi warga negara yang cerdas dan baik, yakni warga Negara yang memiliki akhlak mulia dan berkarakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Berbagai peristiwa yang melibatkan hampir semua lapisan masyarakat, seperti perilaku korupsi, tawuran, penyalahgunaan narkoba, pornografi, tidak mau antri, main hakim sendiri, tidak peduli kepada orang lain, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak disiplin dalam beraktivitas, perkelahian antarkelompok etnis dan/atau masyarakat, dan berbagai perilaku yang menunjukkan degradasi moral yang menjauh dari nilai, etika, dan moralitas sebagai bangsa Indonesia.

Profil peserta didik dan umumnya warga negara yang baik, yakni warga negara yang memiliki pengetahuan/pemahaman akan hak dan kewajiban, bersikap santun, beretika, bermoral dan/ atau berperilaku mulia serta berkarakter kebangsaan Indonesia sangat penting dan mendesak bahkan perlu segera terwujud.

Fenomena sikap dan perilaku negatif yang jauh dari sifat warga negara yang cerdas dan karakter bangsa yang baik sedikit/banyak telah menjadi tanggung jawab lembaga dan perangkat pendidikan serta pihak-pihak yang terkait. Salah satu unsurnya adalah komunitas akademik PKn dan salah satu perangkat sebagai unsur pendunkungnya adalah kurikulum pendidikan kewarganegaraan.

Naskah Akademik Pendidikan Kewarganegaraan (Pendahuluan)


NASKAH AKADEMIK
PENDIDIKANKEWARGANEGARAAN


SMP/MTs


 Visi Kementerian Pendidikan Nasional:
“Insan Indonesia Cerdas, Komprehensif, Kompetitif, dan Bermartabat
(Insan Kamil/Insan Paripurna)”
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PUSAT KURIKULUM
Jakarta, 2010

Penulis:
Prof. Dr. Udin S. Winataputra, M.A.
Kontributor:
Drs. K. Mahmudi HS

KATA PENGANTAR
Naskah Akademik Mata Pelajaran yang disusun oleh Pusat Kurikulum merupakan tindak lanjut dari Naskah Akademik Penataan Ulang Kurikulum dan Naskah Akademik Satuan Pendidikan.
Naskah Akademik Mata Pelajaran terdiri atas sebagai berikut :
1. PKn SD 14. Matematika SMA Bahasa
2. PKn SMP 15. IPA SD
3. PKn SMA 16. IPA SMP
4. Bahasa Indonesia SD 17. Biologi SMA
5. Bahasa Indonesia SMP 18. Fisika SMA
6. Bahasa Indonesia SMA 19. Kimia SMA
7. Sastra Indonesia SMA 20. IPS SD
8. Bahasa Inggris SMP 21. IPS SMP
9. Bahasa Inggris SMA 22. Ekonomi SMA
10. Matematika SD 23. Geografi SMA
11. Matematika SMP 24. Sosiologi SMA
12. Matematika SMA IPA 25. Antropologi SMA
13. Matematika SMA IPS
Selain itu, Pusat Kurikulum juga telah menyusun Naskah Akademik Kewirausahaan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan pemikiran dalam mewujudkan naskah akademik ini. Dengan kerendahan hati, kami mengharapkan masukan dan kritik yang konstruktif dalam rangka pemantapan dan penyempurnaannya. Semoga upaya ini bisa menjadi salah satu unsur yang signifikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.

Jakarta, Nopember2010
Kepala Pusat Kurikulum,
Dra. Diah Harianti, M.Psi
NIP. 195504161983032001


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebuah kurikulum yang baik adalah kurikulum yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Agar Kurikulum tetap sejalan dan sesuai dengan perkembangan serta kebutuhan masyarakat maka para pengembang kurikulum perlu menyesuaikannya baik dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi, kebutuhan maupun tuntutan masyarakat.

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, kurikulum yang berlaku di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan disesuaikan dengan perkembangan kehidupan bangsa. Meskipun demikian, perubahan kurikulum sebagai produk kebijakan pemerintahseringkali dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang memberatkan dan tidak sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Agar kurikulum sejalan dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara, maka pada tahun 2006 Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan Permendiknas No. 22 Tentang Standar Isi (SI), Permendiknas No. 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan Permendiknas No. 24 yang mengatur tentang Pelaksanaan Permendiknas tentang SI dan SKL tersebut.
Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai implementasi dari ketentuan Permendiknas di atas telah memasuki tahun kelima. Telah cukup banyak pendapat, tanggapan, dan kritik masyarakat, baik dari kalangan praktisi dan teoritis pendidikan maupun masyarakat umum termasuk orang tua peserta didik yang menganggap bahwa kurikulum pendidikan kewarganegaraan mengandung sejumlah kelemahan. Mata pelajaran PKn dipandang sebagai mata pelajaran yang tidak menarik, tidak menantang, materi pelajaran terlalu sulit, terlalu abstrak, bahkan tidak sedikit guru yang merasa kesulitan mengajarkan materi PKn.

Disadari bahwa proses pembelajaran adalah proses yang kompleks karena banyak melibatkan berbagai unsur pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sedikitnya ada unsur tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi pembelajaran serta siswa dan guru. Apabila dibuat prioritas, tidak terbantahkan bahwa unsur guru dipandang sebagai unsur yang paling menentukan. Meskipun demikian, kurikulum sebagai unsur pendukung dalam proses pembelajaran tidak dapat dipandang sebelah mata, karena perannya sangat besar. Misalnya, sebagai pengaruh dari sistem pendidikan dan pembelajaran termasuk penerapan sistem kurikulum yang sentralistik pada masa lalu, maka para praktisi pendidikan khususnya guru di satuan pendidikan memandang kurikulum sebagai dokumen utama yang memandu arah dalam pelaksanaan pembelajaran. Kondisi ini dialami pula dalam pelaksanaan kurikulum untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan saat ini.

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang baik yaitu memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang baik, cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Permendiknas No.22/2006 tentang Standar Isi Mata pelajaran PKn).

Sesuai dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PKn wajib diajarkan kepada siswa pada semua jenjang satuan pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi (PT) agar generasi muda memiliki komitmen kuat dan konsisten dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memelihara dan mengembangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. PKn juga memiliki misi untuk membangun karakter bangsa (nation and character building) yang jujur, berdisiplin, kuat dan tangguh, bertanggung jawab, dan demokratis.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang studi yang bersifatmultifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan atau lebih dikenal dengan bidang kajian yang mutidimensional. Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi.

Untuk mengimplementasikan tugas, peran dan fungsi PKn melalui kurikulum pembelajaran pada tingkat satuan pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA, maka kurikulum PKn perlu mempertimbangkan aspek psikologis atau tingkat perkembangan kemampuan berpikir peserta didik. Sebagai program pendidikan, PKn merupakan pendidikan demokrasi yang didalamnya memiliki misi sebagai pendidikan karakter, bahkan pendidikan anti korupsi. Ini berarti pembentukan moralitas menjadi sesuatu yang perlu ditekankan. Aspek inilah yang perlu menjadi fokus perhatian para pengembang kurikulum pada tingkat makro, meso, dan mikro sebagai dasar dalam melakukan pemetaanstrand PKn.

Pola penataan PKn dimasa depan menekankan pembahasannya kedalam tiga strand yaitu Etika, Moral dan Civics. Untuk jenjang satuan pendidikan SD/MI lebih menekankan pada aspek etika, jenjang satuan pendidikan SMP/MTS pada aspek moral, dan jenjang satauan pendidikan SMA/MA pada aspek civics.

Untuk melaksanakan kegiatan tersebut perlu dilakukan serangkaian kegiatan analisis dan kajian kurikulum, khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bak pada jenjang pendidikan dasar maupun jenjang pendidikan menengah.

B. Tujuan Penyusunan Naskah Akademik
Naskah akademik ini merupakan acuan atau pedoman dalam penyusunan kurikulum mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang terdiri atas: 1) penataan ulang kurikulum pendidikan kewarganegaraan, 2) pelaksanaan penguatan implementasi kurikulum , 3) rekomendasi penataan ulang kurikulum mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan masa depan.

Penataan ulang kurikulum bertujuan melakukan analisis kurikulum PKn untuk:
1. Mengkaji kompetensi mata pelajaran telah mengandung unsur-unsur pembelajaran aktif, kreativitas, pendidikan karakter bangsa, ekonomi kreatif dan kewirausahaan
2. Mengkaji konten dan pembelajarannya sesuai dengan tuntutan ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan dan penilaian kelas
3. Mengkaji kesesuaian SI dan SKL dengan tuntutan kebutuhan implementasi kurikulum
Penguatan implementasi kurikulum bertujuan untuk:
1. Penguatan pelaksanaan Standar Isi dengan menggunakan pendekatan belajar aktif.
2. Penguatan konten-konten Standar Isi yang mengandung unsur-unsur pendidikan budaya dan karakter bangsa, kewirausahaan, dan ekonomi kreatif.

Untuk mata pelajaran PKn, penyusunan naskah akademik ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap dokumen dan pelaksanaan kurikulum untuk pengembangan kurikulum mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Secara khusus tujuan kegiatan kajian ini adalah untuk:
1. mengkaji kebenaran dan relevansi konsep dalam Standar Isi dengan tujuan dan landasan filosofis, yuridis, sosio-kultural, sosio-pedagogis, dan perkembangan keilmuan terkini.
2. mengkaji keluasan dan kedalaman cakupan materi dalam Standar Isi sesuai tingkat perkembangan kemampuan peserta didik dan jumlah jam pelajaran yang tersedia.
3. mengkaji sekuensial dan keruntutan antarkonsep yang terdapat pada Standar Isi.
4. mengkaji keterlaksanaan Standar Isi dalam praktik pembelajaran, baik oleh guru dalam mengembangkan silabus dan RPP maupun oleh siswa dalam proses pembelajaran.
5. memberikan masukan kepada BSNP dalam rangka perbaikan implementasi dan penyempurnaan Standar Isi.

C. Ruang lingkup Naskah Akademik
Ruang lingkup kegiatan kajian ini terdiri dari:
1. Lingkup Jenjang Pendidikan:
a. Pendidikan Dasar terdiri atas :Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama.
b. Pendidikan Menengah terdiri atas : Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan.
2. Lingkup Jenis Pendidikan:
a. Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI)
b. Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs)
c. Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
3. Lingkup Mata Pelajaran: Pendidikan Kewarganegaraan.



Baca juga artikel terkait:
Rekomendasi dan Tindak Lanjut Penataan Ulang Kurikulum (BAB V)